Kamis, 02 Juli 2015

Makalah Kecerdasan Emosional



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Penddikan merupakan sebuah media sosial tempat para peserta didik melakukan kegiatan interaksi sesama  teman sebaya, dan merupakan salah satu media pembelajaran serta pengembangan sikap. Peserta didik yang umumnya terdiri dari individu yang masih berada pada usia transisi antara anak-anak menuju dewasa, terdapat banyak perubahan psikologis yang terjadi. Salah satu perubahan yang menonjol adalah perubahan emosional peserta didik.Hal tersebut merupakan hal yang alamiah dan wajar, namun perlu dikendalikan dan diawasi, karena tiap individu memiliki kecerdasan emosional yang bervariasi.Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, adalah bagian dari tujuan dilaksanakannya pendidikan.Untuk mencapai tujuan tersebut, sudah pasti tidak semudah yang dibayangkan. Sebab secara formal, proses pendidikan itu sendiri harus dilalui dengan penjenjangan yang boleh dikatan relatif melelahkan namun berdampak positif terhadap pembentukan karakter seseorang, bahkan jatidiri bangsa di sebuah negara.Di Indonesia, misalnya. Pelaksanaan pendidikan sangat diharapkan mampu mewujudkan manusia beriman yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,berkepribadian yang mantap dan mandiri, serta mengedepankan rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan.Hal-hal tersebut sangat relevan dengan yang diamanahkan oleh UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional. Berlandaskan hal tersebut, maka pendidikan harus mampu mempersiapkan warga negara agar dapat berperan aktif dalam seluruh lapangan kehidupan, cerdas, aktif, kreatif, terampil, jujur, berdisiplin dan bermoral tinggi, demokratis, dan toleran dengan mengutamakan persatuan bangsa, bukannya perpecahan. Sehingganya, sangat perlu mengasah inteligensi secara terus-menerus.Namun secara spesifik, mencapai tujuan pendidikan seutuhnya ternyata pengembangan intelengensi saja tidak mampu menghasilkan manusia yang utuh.Berbagai hasil kajian dan pengalaman menunjukkan, bahwa pembelajaran komponen emosional lebih penting daripada intelektual.
Jika kualitas pendidikan diharapkan tercapai secara optimal, perlu diupayakan bagaimana membina peserta didik untuk memiliki kecerdasan emosi yang stabil sebagai penyeimbang dari inteligensi yang ada.Sebab, melalui kecerdasan emosional peserta didik dapat memahami diri dan lingkungannya secara tepat, memiliki rasa percaya diri, tidak mudah putus asa, dan dapat membentuk karakter peserta didik secara positif.Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik. Dan budaya adalah keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat.Sedangkan karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang  terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, dan bersikap Jadi pendidikan budaya dan karakteradalah suatu usaha sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik agar mampu melakukan proses internalisasi, menghayati nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, dan mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera,serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat.Cepi Triatna (2008:37) menyatakan, pendidikan karakter adalah pendidikan emosi atau pendidikan budi pekerti plus, yaitu pendidikan yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter, emosi peserta didik akan menjadi cerdas. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan peserta didik menyongsong masa depan yang penuh dengan tantangan.Dapat digarisbawahi, bahwa tujuan pendidikan, budaya dan karakter bangsa adalah: 1). mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya serta karakter bangsa; 2). mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius; 3). menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa; 4). mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan; dan 5). mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter  bangsa adalah: 1). Religius; 2). Jujur; 3).Toleransi 4). Disiplin;  5). Kerja keras  6). Kreatif; 7). Mandiri;  8). Demokratis; 9).Rasa ingin tahu; 10). Semangat kebangsaan;  11). Cinta tanah air; 12). Menghargai prestasi;  13). Bersahabat/Komuniktif; 14).Cinta damai; 15).Gemar membaca;   16).Peduli lingkungan; 17).Peduli sosial; dan 18).Tanggung-jawab.
Peserta didik yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosional, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul, dan tidak dapat mengontrol emosinya, sehingga jauh dari nilai-nilai yang diharapkan dalam pendidikan .
Sebaliknya peserta didik yang memiliki kecerdasan emosional akan membentuk peserta didik yang berkarakter sesuai dengan nilai-nilai pada pendidikan berkarakter.Sehingga dari keseluruhan uraian tersebut di atas, maka sebagai konklusi dapat digambarkan, bahwa kecerdasan emosional memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai kesuksesan di sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Bahkan kecerdasan emosional dapat ditunjukkan melalui kemampuan seseorang untuk menyadari apa yang dia dan orang lain rasakan.
Kemudian, peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan emosional yang lebih baik, dapat menjadi lebih terampil dalam menenangkan dirinya dengan cepat, jarang tertular penyakit, lebih terampil dalam memusatkan perhatian, lebih baik dalam berhubungan dengan orang lain, lebih cakap dalam memahami orang lain, dan untuk kerja akademis di sekolah lebih baik.Dan sekali lagi perlu diingat, bahwa kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ), yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, mangatasi frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati, serta kemampuan bekerja sama.Pendidikan karakter adalah pendidikan emosi atau pendidikan budi pekerti plus yaitu pendidikan yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action).
 Dalam pendidikan karakter peserta didik di harapkan memiliki nilai-nilai positif yaitu  1). Religius; 2).Jujur; 3).Toleransi 4). Disiplin;  5). Kerja keras  6). Kreatif; 7). Mandiri;  8). Demokratis; 9).Rasa ingin tahu; 10). Semangat kebangsaan;  11). Cinta tanah air; 12).Menghargai prestasi;  13). Bersahabat/Komuniktif; 14).Cinta damai; 15).Gemar membaca;   16).Peduli lingkungan; 17).Peduli sosial; dan 18).Tanggungjawab.Olehnya itu, agar nilai-nilai tersebut dapat dicapai, maka cara mengembangkan kecerdasan emosional peserta didik adalah pilihan yang tepat untuk ditempuh.Sebab,dengan mengembangkan kecerdasan emosional, maka tentunya akan membentukpeserta didik yang berkarakter sebagaimana yang diharapkan.
B.      Rumusan masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan kecerdasan emosional?
2.      Mengapa kecerdasan emosional sangat penting?
3.      Bagaimana peranan kecerdasan emosional terhadap perkembangan?
4.      Bagaimana hubungan serta penerapan kecerdasan emosional dalam pembelajaran peserta didik?
C.      Tujuan
1.      Mengetahui apa yang dimaksud dengan kecerdasan emosional.
2.      Mengetahui pentingnya kecerdasan emosional dalam perkembangan peserta didik.
3.      Mengetahui peran kecerdasan emosional terhadap perkembangan peserta didik.
4.      Mengetahui hubungan serta penerapan kecerdasan emosional dalam proses pembelajaran peserta didik.
D.     Manfaat
Dengan menyadari variasi kecerdasan emosional pada tiap individu, memperluas wawasan tentang penanganan peserta didik yang sedang dalam masa transisi. Sehingga dapat memberikan arahan serta bimbingan untuk menyadari kecenderungan emosi yang terdapat dalam diri sendiri menuju  arah positif.
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional atau yang biasa dikenal dengan EQ(bahasa Inggrisemotional quotient) adalah kemampuan seseorang untuk menerimamenilaimengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan oranglain di sekitarnya.Dalam hal ini, emosi mengacu pada perasaanterhadap informasi akan suatu hubungan.Sedangkan, kecerdasan (intelijen) mengacu pada kapasitas untuk memberikan alasan yang valid akan suatu hubungan. Kecerdasan emosional (EQ) belakangan ini dinilai tidak kalah penting dengan kecerdasan intelektual (IQ). Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional dua kali lebih penting daripada kecerdasan intelektual dalam memberikan kontribusiterhadap kesuksesan seseorang(Maliki.2009:15).
Menurut Howard Gardner (1983) terdapat lima pokok utama darikecerdasan emosional seseorang, yakni mampu menyadari dan mengelola emosi diri sendiri, memiliki kepekaan terhadap emosi orang lain, mampu merespon dan bernegosiasi dengan orang lain secara emosional, serta dapat menggunakan emosi sebagai alat untuk memotivasi diri.
Kecerdasan emosional dapat dikatakan sebagai kemampuan psikologis yang telah dimiliki oleh tiap individu sejak lahir, namun tingkatan kecerdasan emosional tiap individu berbeda, ada yang menonjol da nada pula yang tingkat kecerdasan emosional mereka rendah.Istilah “kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh dua orang psikolog, yakni Peter Salovey dan John Mayer.
Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosinal (EQ) adalah “Himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan”. (Shapiro, 1998: 8).
Menurut psikolog lainnya, yaitu Bar-On (Goleman:2000: 180), mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi, dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan.Sedangkan Goleman (2002:512), memandang kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intellegence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan sosial.
Jadi dapat diartikan bahwa Kecerdasan Emosi atau Emotional Quotation (EQ) meliputi kemampuan mengungkapkan perasaan, kesadaran serta pemahaman tentang emosi dan kemampuan untuk mengatur dan mengendalikannya.Kecerdasan emosi dapat juga diartikan sebagai kemampuan Mental yang membantu kita mengendalikan dan memahami perasaan-perasaan kita dan orang lain yang menuntun kepada kemampuan untuk mengatur perasaan-perasaan tersebut.
Jadi orang yang cerdas secara emosi bukan hanya memiliki emosi atau perasaan tetapi juga mampu memahami apa makna dari rasa tersebut. Dapat melihat diri sendiri seperti orang lain melihat,serta mampu memahami orang lain seolah-olah apa yang dirasakan oleh orang lain dapat kita rasakan juga.
B.      Pentingnya kecerdasan Emosional
Menurut Alan Mortiboys Peter Salovey dan Jack Mayer (1990) Kecerdasan emosional (EQ) meliputi: 1. kemampuan untuk merasakan secara akurat, menilai dan mengekspresikan emosi; 2. kemampuan untuk mengakses dan/atau menghasilkan perasaan ketika ia bersedia berpikir; 3. kemampuan untuk memahami emosi dan pengetahuan emosional;dan 4. Memampuan untuk mengatur emosi untuk mempromosikan pertumbuhan emosi dan intelektual.Kecerdasan emosi merupakan kecerdasan vital manusia yang sudahsemestinya terus dilatih, dikelola dan dikembangkan secara intens.Karena kecerdasan emosi memiliki kesinambungan yang cukup erat dengan kualitashidup manusia, dimana kecerdasan emosi berkait erat dengan adanya jiwa yang sehat. Sehingga dari jiwa yang sehat tersebut manusia sebagai spesies yang rentan mengalami ketidakbahagiaan akan memiliki peluang jauh lebih besar di dalam memperoleh hidup bahagia.Orang yang mampu mengendalikan kecerdasan emosional yang dimilikinya akan memiliki peluang yang lebih baik untuk bisa sukses dan dipastikan lebih tenang dalam menyelesaikan permasalahan yang tergolong rumit.
C.      Peran kecerdasan Emosional dalam perkembangan peserta didik
Masa remaja atau masa adolensia merupakan masa peralihan atau masa transisi antara masa anak ke masa dewasa.Pada masa ini individu mengalami perkembangan yang pesat mencapai kematangan fisik, sosial, dan emosi.Pada masa ini dipercaya merupakan masa yang sulit, baik bagi remaja sendiri maupun bagi keluarga dan lingkungannya.
Perubahan-perubahan fisik yang dialami remaja juga menyebabkan adanya perubahan psikologis. Hurlock (1973: 17) disebut sebagai periode heightened emotionality, yaitu suatu keadaan dimana kondisi emosi tampak lebih tinggi atau tampak lebih intens dibandingkan dengan keadaan normal. Emosi yang tinggi dapat termanifestasikan dalam berbagai bentuk tingkah laku seperti bingung, emosi berkobar-kobar atau mudah meledak, bertengkar, tak bergairah, pemalas, membentuk mekanisme pertahanan diri.Emosi yang tinggi ini tidak berlangsung terus-menerus selama masa remaja. Dengan bertambahnya umur maka emosi yang tinggi akan mulai mereda atau menuju kondisi yang stabil.Kecerdasan emosional juga berkaitan dengan arah yang positif jika remaja dapat mengendalikannya, memang dibutuhkan proses agar seseorang dapat mencapai tingkat kecerdasan emosional yang mantap.
D.     Hubungan serta Penerapan kecerdasan emosional dalam pembelajaran peserta didik
Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi remaja.Faktor tersebut antara lain Kepribadian, lingkungan, pengalaman, kebudayaan, dan pendidikan.
pendidikan, merupakan variabel yang sangat berperan dalam perkembangan emosi individu. Perbedaan individu juga dapat dipengaruhi oleh adanya perbedaan kondisi atau keadaan individu yang bersangkutan.
Sehubungan dengan hal tersebut  orang yang memiliki kecerdasan emosional yang baik  diharapkan dapat menampilkan sikap berpikir yang tercermin dari cara berpikir yang logis, cepat, mempunyai kemampuan abstraksi yang baik, mampu mendeteksi, menafsirkan, menyimpulkan, mengevaluasi, dan mengingat, menyelesaikan masalah dengan baik, bertindak terarah sesui dengan tujuan,Serta tingkat kematangan yang baik ketenangan. Hal tersebut berkaitan juga dengan kemampuan inteljensia yang baik (IQ).
Apabila dikaitkan dengan prestasi belajar,maka kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor yang juga turut menentukan prestasi. Individu yang memiliki IQ yang tinggi diharapkan akan menghasilkan prestasi belajar yang tinggi, karena IQ seringkali dianggap modal potensial yang memudahkan seseorang dalam belajar. Maka seringkali muncul anggapan bahwa IQ merupakan faktor yang menunjang prestasi belajar yang baik.Bahkan ada sebagian masyarakat yang menempatkan IQ melebihi porsi yang seharusnya. Mereka menganggap hasil tes IQ yang tinggi merupakan jaminian kesuksesan belajar seseorang sebaliknya IQ yang rendah merupakan vonis akhir bagi individu bahwa dirinya tidak mungkin mencapai prestasi belajar yang baik anggapan semacam ini tidaklah tepat, karena masih banyak faktor yang ikut menentukan prestasi,terutama EQ serta SQ (Spiritual quotient) Anggapan yang tidak tepat tersebut bisa berdampak tidak baik bagi individu karena dapat melemahkan motivasi siswa dalam belajar yang justru dapat menjadi awal dari kegagalan yang seharusnya tidak perlu terjadi.Untuk itu, perlu ditanamkan dalam benak siswa bahwa kesuksesan belajar tidak hanya ditentukan dengan kecerdasan yang dimiliki, tetapi juga bagaimana mengendalikan diri sendiri.
Penerapan kecerdasan emosional dalam pembelajaran peserta didik dalam penting untuk dilakukan.Dimana peserta didik diarahkan secara perlahan untuk mengembangkan, mengasah serta mengendalikan emosi yang di miliki, sehingga berdampak baik bagi kehidupan siswa tersebut, baik di dalam lingkungan sekolah maupun di luar sekolah, dalam bidang akademis maupun non akademis.

BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Kecerdasan emosional atau yang biasa dikenal dengan EQ (emotional quotient) adalah kemampuan seseorang untuk menerimamenilaimengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan oranglain di sekitarnya.Peserta didik yang memiliki kecerdasan emosional yang baik, akan membentuk generasi yang berpendidikan berkarakter. Kecerdasan Emosi atau Emotional Quotation (EQ) meliputi kemampuan mengungkapkan perasaan, kesadaran serta pemahaman tentang emosi dan kemampuan untuk mengatur dan mengendalikannya.Kecerdasan emosi dapat juga diartikan sebagai kemampuan Mental yang membantu kita mengendalikan dan memahami perasaan-perasaan kita dan orang lain yang menuntun kepada kemampuan untuk mengatur perasaan-perasaan tersebut.Orang yang mampu mengendalikan kecerdasan emosional yang dimilikinya akan memiliki peluang yang lebih baik untuk bisa sukses dan dipastikan lebih tenang dalam menyelesaikan permasalahan yang tergolong rumit.Dengan bertambahnya usia maka emosi yang tinggi akan mulai mereda atau menuju kondisi yang lebih stabil.Kecerdasan emosional juga berkaitan dengan arah yang positif jika remaja dapat mengendalikannya, memang dibutuhkan proses agar seseorang dapat mencapai tingkat kecerdasan emosional yang mantap. Penerapan kecerdasan emosional sangat penting di lakukan dalam proses belajar mengajar, karena di saat individu memiliki kecerdasan emosional yang baik, maka kemungkinan besar perkembangan individu tersebut akan baik dan berjalan lancar.
B.      Saran
Tingkat kecerdasan emosional tiap individu bervariasi, namun pada dasarnya kemampuan emosional seseorang dapat di tingkatkan melalui proses dan tindakan tertentu. Emosi merupakan keadaan psikologis yang cukup sulit untuk dikontrol, namun tetap perlu di organisir dengan baik sehingga tidak terjadi gangguan yang berbahaya dalam proses perkembangan peserta didik. Orang tua maupun pendidik tidak mungkin selalu mengawasi perkembangan dan tingkah laku peserta didik setiap waktu, selain itu peserta didik pasti akan merasa terganggu dan merasa terbelenggu jika terus menerus diawasi. Mengingat hal tersebut, maka perlu di berikan pemahaman tentang kondisi psikologis dirinya sendiri, serta perlu di berikan arahan dalam menanggapi suatu permasalahan tanpa harus memaksakan kehendak pribadi. Keterbukaan dalam mendengarkan keluhan siswa dan memberikan dukungan moril yang cukup, akan membantu siswa dalam menghadapi transisi sehingga mampu mencapai kondisi emosional yang stabil.untuk hasil jangka panjang,hal tersebut akan sangat membantu peserta didik untuk mengeluarkan potensi terbaik yang di miliki sehingga unggul dalam kehidupan sosial,akademis dan sebagainya. 



DAFTAR PUSTAKA
Gardner,H.1983.Pendidikan Emosional Usia dini.Bandung:C.V Tirta.
Goeleman.2000.Kecerdasan Manusia.Jakarta: Gramedia.
Maliki,S.2009.Manajemen Pribadi Untuk Kesuksesan Hidup.Yogyakarta: Kertajaya.
Shapiro.1998.Kecerdasan Otak Manusia.Jakarta:Kanaya Press.

Jumat, 22 Mei 2015

Pesta Bikini, Ahok: Pelajar SMA yang Ikut Kena Sanksi

 KAMIS, 23 APRIL 2015 | 14:00 WIB

Pesta Bikini, Ahok: Pelajar SMA yang Ikut Kena Sanksi  
acidcow.com
TEMPO.COJakarta - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama meradang mengetahui ada pesta bikini untuk siswa Sekolah Menengah Atas. Ahok, sapaan akrabnya, mengatakan
akan memberi sanksi bagi pelajar yang mengikuti pesta bikini selepas Ujian Nasional.

"Anda lulus SMA mau bikin pesta apa pun terserah Anda. Anda lulus, Anda bahagia, silakan," ujar Ahok saat ditemui di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Kamis, 23 April 2015. "Tapi enggak bisa dong kalau pesta bikini, ya tangkep. Enggak bener kalau pesta bikini."

Ahok berujar penerapan sanksi perlu dilakukan. "Kalau sampai terjadi kita cari jalan hukumnya seperti apa."

Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Arie Budiman mengaku sudah memeriksa ke bawahannya mengenai rencana pesta bikini bertajuk "Splash After Class" tersebut. Menurut dia, sekolah dan dinas-dinas pendidikan di wilayah tak mengetahui adanya acara tersebut.

"Penyelenggara acara adalah hotel dan murni inisiatif mereka. Dinas akan meminta pemberian sanksi terhadap hotel tersebut," ujar Arie. Selain itu, ujarnya, Dinas Pendidikan akan segera membuat surat edaran untuk melarang kegiatan sejenis pasca-Ujian Nasional.

Di media sosial tersebar undangan acara pesta bikini bertema "Splash After Class". Dalam undangan tersebut tercantum jenis pakaian yang digunakan peserta adalah bikini summer dress. Acara akan diselenggarakan pada 25 April 2015 di The Media Hotel & Towers di Jalan Gunung Sahari Raya Nomor 3.

Penyelenggara mengklaim bahwa acara tersebut didukung beberapa sekolah di Ibu Kota, di antaranya SMA 8 Bekasi, SMA 12 Jakarta, SMA 14 Jakarta, SMA 38 Jakarta, SMA 50 Jakarta, SMA 24 Jakarta, SMK Musik BSD, SMA 109 Jakarta, SMA 53 Jakarta, SMA Muhammadiyah Rawamangun, SMA 44 Jakarta, SMA Alkamal, SMA 29 Jakarta, SMA 26 Jakarta, dan SMA 31 Jakarta. Sayangnya, ketika dikonfirmasi Tempo, nomor kontak penyelenggara acara ini tak bisa dihubungi atau tidak aktif.

Perkembangan Peserta Didik dari SD, SMP Hingga SMA


 Perkembangan Peserta Didik dari SD, SMP Hingga SMA



 
A.PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK di SEKOLAH DASAR
1.Perkembangan dalam Sikap Kognitif
Perkembangan Kognitif adalah perkembangan kemampuan (kapasitas) individu untuk memanipulasi dan mengingat informasi, sedangkan menurut Peaget (dalam Sanrock 1995:308),perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu suatu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf.
Anak usia SD masih memasuki tahap perkembangan yang sangat pesat. Berbagai otot dan tulang mengalami penguatan sehingga anak cenderung aktif dalam melakukan kegiatan fisik seperti bergerak, berlari, dan tidak pernah diam ditempat. Secara kognitif, pemikiran anak SD sedang mengalami pertumbuhan sangat cepat. Pada usia dasar (6-12 tahun) anak sudah dapat mereaksi rangsangan intelektual atau melaksanakan tugas-tugas belajar yang menuntut kemampuan intelektual atau kemampuan kognitif (seperti membaca, menulis, dan menghitung).
Sebelum masa ini, yaitu masa prasekolah daya pikir anak masih bersifat imajinatif, berangan-angan atau berkhayal, sedangkan pada usia SD daya pikir anak sudah berkembang kearah berpikir konkret dan rasional. Dalam rangka mengembangkan kemampuan anak, maka sekolah dalam hal ini guru, seyogyanya memberikan kesempatan kepada anak untuk mengemukakan pertanyaan, memberikan komentar atau pendapat tentang materi pelajaran yang dibacanya atau dijelaskan oleh guru.
Pada saat duduk di sekolah dasar, dalam perkembangan kognitif menurut Piaget masa ini berada pada tahap operasi konkret, yang ditandai dengan kemampuan, yaitu:
1. Mengklasifikasikan (mengelompokkan) benda-benda berdasarkan ciri-ciri yang sama.
2. Menyusun atau mengasosiasikan (menghubungkan atau menghitung) angka-angka atau bilangan.
3. Memecahkan masalah (probelm solving) yang sederhana.

Dalam upaya memahami alam sekitarnya mereka tidak lagi terlalu mengandalkan informasi yang bersumber dari panca indera, karena anak mulai mempunyai kemampuan untuk membedakan apa yang tampak oleh mata denga kenyataan sesungguhnya. Dalam masa ini, khusunya dikelas-kelas tinggi, kelas 4, kelas 5, dan kelas 6, anak telah mengembangkan 3 macam proses yang disebut dengan operasi-operasi, yaitu:
1. Negasi (negation), yaitu pada masa kongkrit operasional, anak memahami hubungan-hubungan antara benda atau keadaan yang satu dengan benda atau keadaan yang lain.
2. Hubungan Timbal Balik (Resiprok), yaitu anak telah mengetahui hubungan sebab-akibat dalam suatu keadaan.
3. Identitas, yaitu anak sudah mampu mengenal satu persatu deretan benda yang ada.
Operasi yang terjadi dalam diri anak memungkinkan pula untuk mengetahui suatu perbuatan tanpa melihat bahwa perbuatan tersebut ditunjukkan. Jadi, pada tahap ini anak telah memiliki struktur kognitif yang memungkinkannya dapat berfikir untuk melakukan suatu tindakan tanpa ia sendiri bertindak secara nyata.
Bagaimana anak-anak memperluas tata bahasa mereka dengan begitu cepat? Sebenarnya  mereka melakukannya dengan pemetaan secara cepat, yang memungkinkan mereka untuk menyerap arti kata baru setelah mendengarnya sekali atau dua kali dalam percakapan. Pada basis konteks tersebut, anak-anak tampaknya membentuk hipotesis yang cepat mengenai arti kata dan menyimpannya dalam ingatan.
Pada usia 5-7 tahun, kemampuan bicara anak-anak menjadi sangat mirip dengan orang dewasa. Mereka berbicara dalam kalimat yang lebih panjang dan lebih rumit. Mereka menggunakan lebih banyak kata hubung, kata depan, dan artikel. Merekaemnggunakan kalimat kompleks dan susunan, dan dapat menangani semua bagian pembicaraan. Masih lagi, saat anak-anak pada usia ini berbicara secara lancar, dapat dimengerti dan benar menurut tata bahasa, mereka harus menguasai beberapa poin bahasa.
Ada dua proses yang memungkinkan perubahan ini,yaitu Asimilasi dan Akomodasi. Asimilasi merupakan proses kognitif yang menggabungkan  informasi dari lingkungan kedalam skemata yang ada. Sebaliknya, Akomodasi adalah proses kognitif yang mengubah skemata yang ada atau membuat skemata yang baru untuk menyesuaikan dengan lingkungan. Melalui Asimilasi, ana-anak menambahkan informasi baru ke dalam gambaran mereka tentang dunia, dan melalui Akomodasi, mereka mengubah gambaran mereka tentang dunia berdasarkan informasi baru.

2. Perkembangan dalam Sikap Emosional
    Kemampuan mengontrol emosi diperoleh anak melalui peniruan dan latihan (pembiasaan). Dalam proses peniruan, kemampuan orang tua dalam mengndalikan emosinya sangatlah berpengaruh pada anak.
    Pada usia sekolah (khususnya di kelas-kelas tinggi, kelas 4, kelas 5, dan kelas 6), anak mulai menyadari bahwa pengungkapan emosi secara kasar tidaklah diterima, atau tidak disenangi oleh orang lain. Oleh karena itu, dia mulai belajar untuk mengendalikan dan mengontrol ekspresi emosinya. Kemampuan mengontrol emosi diperolehnya melalui peniruan dan latihan (pembiasaan).
    Dalam proses peniruan, kemampuan orang tua atau guru dalam mengendalikan emosinya sangatlah berpengaruh. Apabial anak dikembangkan di lingkungan keluarga yang suasana emosionalnya stabil, maka perkembangan emosi anak cenderung stabil atau sehat. Akan tetapi, apabila kebiasaan orang tua dalam mengekspresikan emosinya kurang stabil atau kurang kontrol (seperti: marah-marah, mudah mengeluh, kecewa, dan pesimis dalam menghadapi masalah), maka perkembangan emosi anak, cenderung kurang stabil atau tidak sehat. Gambaran tentang karateristik emosi anak itu dapat dilihat pada perbedaan berikut:

Karateristik Emosi yang Stabil (Sehat)
    1.Menunjukkan wajah yang ceria.
    2.Mau bergaul dengan teman secara baik.
    3.Bergairah dalam belajar
    4.Dapat berkonsentrasi dalam belajar.
    5.Bersikap respek (menghargai) terhadap diri sendiri dan orang lain.
   
Karateristik  Emosi yang Tidak Stabil (Tidak Sehat)
   
    1.Menunjukkan wajah yang murung.
    2.Mudah tersinggung
    3.Tidak mau bergaul dengan orang lain.
    4.Suka marah-marah
    5.Suka mengganggu teman


B. PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK  pada SEKOLAH MENENGAH PERTAMA
1. Perkembangan dalam Sikap Kognitif
            Untuk membahas perkembangan kognitif  (berpikir) pada  anak saat berada di sekolah menengah pertama (SMP), dikemukakan pandangan dari Piaget, Vigotksy, dan para ahli psikologi pemrosesan informasi (information-processing theory).
            Arajoo T.V (1986) menyatakan bahwa aspek kognitif meliputi fungsi intelektual seperti pemahaman, pengetahuan dan ketrampilan berpikir. Untuk siswa SMP, perkembangan kognitif utama yang dialami adalah formal operasional, yang mampu berpikir abstrak dengan menggunakan simbol-simbol tertentu atau mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal yang tidak terikat lagi oleh objek-objek yang bersifat konkrit, seperti peningkatan kemampuan analisis, kemampuan mengembangkan suatu kemungkinan berdasarkan dua atau lebih kemungkinan yang ada, kemampuan menarik generalisasi dan inferensasi dari berbagai kategori objek yang beragam. Selain itu, ada peningkatan fungsi intelektual, kapabilitas memori dalam bahasa dan perkembangan konseptual. Dengan kata lain, bahasa merupakan salah satu alat vital untuk kegiatan kognitif.
            Menurut Jean Piaget, perkembangan kognitif anak pada saat berada di Sekolah Menengah Pertama(SMP), berada pada tahap “Formal operation stage”, yaitu tahap ke empat atau terakhir dari tahapan kognitif. Tahapan berpikir formal ini terdiri atas dua subperiode (Broughton dalam John W.Santrock, 2010:97), yaitu:
    a.  Early formal operation thought, yaitu kemampuan remaja untuk berpikir dengan cara-cara hipotetik yang menghasilkan pikiran-pikiran sukarela (bebas) tentang berbagai kemungkinan yang tidak terbatas. Dalam periode awal ini, remaja mempersepsi dunia sangat bersifat  subjektif dan idealistik.
    b.  Late formal operational thought, yaitu remaja mulai menguji pikirannya berlawanan dengan pengalamannya, dan mengembalikan keseimbangan intelektualnya. Melalui akomodasi (penyesuaian terhadap informasi/hal baru), remaja mulai dapat mentesuaikan terhadap bencana atau kondisi pancaroba yang telah dialalminya.

Keating merumuskan lima pokok yang berkaitan dengan perkembangan berpikir operasi formal, yaitu sebagai berikut :

      1.  Berlainan dengan cara berpikir anak-anak yang tekanannya kepada kesadarannya sendiri disini dan sekarang, cara berpikir remaja berkaitan erat dengan dunia kemungkinan. Remaja mampu menggunakan abstraksi dan dapat membedakan yang nyata dan konkret dengan abstrak dan mungkin.
      2.  Melalui kemampuannya untuk menguji hipotesis, muncul kemampuan nalar secara ilmiah.
      3.  Remaja dapat memikirkan tentang masa depan dengan membuat perencanaan dan mengekplorasi berbagai kemungkinan untuk mencapainya.
      4.  Remaja menyadari tentang aktivitas kognitif dan mekanisme yang membuat proses kognitif itu efisien dan tidak efisien. Dengan demikian, introspeksi (pengujian diri) menjadi bagian kehidupannya sehari-hari.
      5.  Berpikir operasi formal memungkinkan terbukanya topik-topik baru dan ekspansi berpikir.




2. Perkembangan dalam sikap Emosional
   Masa remaja merupakan puncak emosionalitas, yaitu perkembangan emosi yang tinggi. Pertumbuhan fisik, terutama ogran seksual mempengaruhi perkembangan emosi dan dorongan baru yang dialami sebelumnya seperti perasaan cinta. Pada usia remaja awal, perkembanga emosinya menunjukkan sifat yang sensitif dan reaktif yang sangat kuat terhadap berbagai peristiwa, emosinya bersifat negatif dan tempramental. Sedangkan remaja akhir sudah mampu mengendalikan emosinya. Mencapai kematang emosional merupakan tugas perkembangan yang sangat sulit bagi remaja. Proses pencapaiannya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosio-emosional lingkungannya, terutama lingkungan keluarga dan kelompok teman sebaya
Meskipun pada usia remaja kemampuan kognitifnya telah berkembang dengan baik, yang memungkinkannya untuk dapat mengatasi stres atau fluktuasi emosi secara efektif, tetrapi ternyata masih banyak remaja yang belum mampu mengelola emosinya, sehingga mereka banyak mengalami depresi, marah-marah, dan kurang mampu meregulasi emosi. Kondisi ini dapat memicu masalah, seperti kesulitan belajar, penyalahgunaan obat, dan perilaku menyimpang. Dalam suatu penelitian  dikemukakan bahwa regulasi emosi sangat penting bagi keberhasilan akademik. Remaja yang sering mengalami emosi yang negarif cenderung memiliki prestasi belajar yang rendah.

C. PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK pada SEKOLAH MENENGAH ATAS
1. Perkembangan dalam Sikap Kognitif
Kemampuan kognitif terus berkembang selama masa SMA. Akan tetapi, bagaimanapun tidak semua perubahan kognitif pada masa SMA tersebut mengarah pada peningkatan potensi. Kadang-kadang beberapa kemampuan kognitif mengalami kemerosotan seiring dengan pertambahan usia. Meskipun demikian sejumlah ahli percaya bahwa kemunduran keterampilan kognitif yang terjadi terutama pada masa SMA akhir dapat ditingkatkan kembali melalui serangkaian pelatihan.

   Perkembangan kognitif pada fase usia dewasa awal, dikemukakan oleh Schaie (1997) bahwa tahap-tahap kognitif  Piaget menggambarkan peningkatan efisiensi dalam perolehan informasi yang baru. Sebagai contoh, pada masa dewasa awal terdapat perubahan dari mencari pengetahuan menuju menerapkan pengetahuan, menerapkan apa yang sudah diketahui, khususnya dalam hal penentuan karier dan mempersiapkan diri untuk menghadapi pernikahan dan hidup berkeluarga.

2.Perkembangan dalam Sikap Emosional
  Pada masa ini, tingkat karateristik emosional akan menjadi drastis tingkat kecepatannya. Gejala-gejala emosional para remaja seperti perasaan sayang, marah, takut, bangga dan rasa malu, cinta dan benci, harapan-harapan dan putus asa, perlu dicermati dan dipahami dengan baik. Sebagai calon pendidik dan pendidik kita harus mengetahui setiap aspek yang berhubungan dengan perubahan pola tingkah laku dalam perkembangan remaja, serta memahami aspek atau gejala tersebut sehingga kita bisa melakukan komunikasi yang baik dengan remaja. Perkembangan pada masa SMA (remaja) merupakan suatu titik yang mengarah pada proses dalam mencapai kedewasaan. Meskipun sifat kanak-kanak akan sulit dilepaskan pada diri remaja karena pengaruh didikan orang tua.
Perkembangan Peserta Didik Periode Sekolah Menengah Atas (SMA)
Psikolog memandang anak usia SMA sebagai individu yang berada pada tahap yang tidak jelas dalam rangkaian proses perkembangan individu. Ketidakjelasan ini karena mereka berada pada periode transisi, yaitu dari periode kanak-kanak menuju periode orang dewasa. Pada masa tersebut mereka melalui masa yang disebut masa remaja atau pubertas. Umumnya mereka tidak mau dikatakan sebagai anak-anak tapi jika mereka disebut sebagai orang dewasa, mereka secara riil belum siap menyandang predikat sebagai orang dewasa.
Ada perubahan-perubahan yang bersifat universal pada masa remaja, yaitu meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikis, perubahan tubuh, perubahan minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial tertentu untuk dimainkannya yang kemudian menimbulkan masalah, berubahnya minat, perilaku, dan nilai-nilai, bersikap mendua (ambivalen) terhadap perubahan.
Perubahan-perubahan tersebut akhirnya berdampak pada perkembangan fisik, kognitif, afektif, dan juga psikomotorik mereka.

Fenomena Corat Coret Baju Seragam Setelah Pengumuman UN


corat-coretCorat-coret baju seragam sekolah pada saat pengumuman kelulusan ujian Nasional (UN) untuk tingkat SMA sederajat adalah merupakan kebiasaan buruk yang terjadi secara turun temurun. Seperti yang kita lihat di hari jum’at kemarin tanggal 24 Mei saat pengumuman kelulusan ujian nasional tingkat SMA sederajat aksi corat-coret baju seragam terjadi dimana-mana. Entah kapan dimulainya kebiasaan tersebut seingat saya dari jaman dulu kebiasaan corat-coret baju tersebut sudah ada. Sebagian orang mengatakan bahwa fenomena corat-coret baju saat pengumuman lulus adalah sebagai budaya dan sebagai kenangan indah bagi mereka. Tapi menurut saya itu bukan merupakan budaya dan kenangan, tapi sebagai kebiasaan buruk yang harus ditinggalkan.
Usia remaja adalah usia pertumbuhan yang penuh dengan pemberontakan baik di lingkungan keluarga maupun lingkungan sekolah. Sekolah sebagai lembaga formal untuk mendidik anak-anak. Di mana di dalamnya di ajarkan berbagai disiplin ilmu, cara berdisiplin, pembiasaan diri, bertanggung jawab, kerja keras sesuai dengan pendidikan karakter bangsa. Di mana pada tingkat pendidikan anak-anak sampai remaja mendidik karakter yang baik supaya sadar tahu mana yang salah dan mana yang benar yang disertai dengan contoh nyata dalam karakter Walaupun dalam hal kedisiplinan kita ambil saja satu contoh untuk merapikan baju seragam kadang-kadang harus dipaksakan dengan teguran.  Dalam fenomena mencurat-coret baju seragam rupanya mereka melihat contoh dari kakak kelasnya.
Di sekolah dari tingkat dasar dan menengah semua ilmu diajarkan kepada peserta didik walau sebenarnya peserta didik tidak semua menyukai dengan pelajaran tersebut. Ada beberapa mata pelajaran yang   tidak disukai sampai dibenci oleh para peserta didik misalnya matematika dan fisika. Dalam hal seragam di lingkungan sekolah harus selalu rapi bersih dilengkapi dengan berbagai atribut yang melekat  ini juga oleh sebagian remaja peserta didik merupakan bentuk pengekangan terhadap kebebasan mereka. Maka pada saat kelulusan seolah olah mereka ingin mengekspresikan diri bahwa sekarang saatnya untuk lepas dari semua aturan karena kami sudah lulus. Jadi corat coret terhadap baju seragam pada saat pengumuman kelulusan merupakan suatu bentuk pemberontakan terhadap peraturan di mana pada saat mereka lulus dari sekolah tersebut seakan peraturan tersebut tidak mengikat lagi.
Beberapa gambar di bawah ini saya peroleh dari siswa-siswi sekolah saya sendiri selepas pengumuman pelulusan Ujian Nasional 2013. Padahal pengumuman UN kami antar langsung ke rumah mereka untuk menghindari aksi corat-coret baju seragam, tapi tahu-tahu mereka berkumpul untuk aksi ini.
coret7
coret6
coret2
coret8
coret3
coret10
coret9
Fenomena tersebut adalah sebuah kebiasaan buruk, kami para guru kerap kali mencoba mengatasi hal tersebut misalnya dengan menghimbau kepada para siswa kelas 12 yang baru lulus untuk segera mengumpulkan baju seragam bekas yang layak pakai untuk disumbangkan kepada yang membutuhkan misalnya panti atau korban sebuah bencana. Sebagian anak ada yang menuruti himbauan guru tapi ada juga yang tidak, ada juga mereka yang menyumbangkan pakaian bekasnya dan corat-coret juga, rupanya mereka memiliki dua atau lebih seragam ya untuk disumbangkan ada dan untuk di corat-coret juga ada.
Sekarang lebih buruknya bukan saat pengumuman kelulusan ini malah di beberapa tempat ada yang corat-coret baju seragam tersebut pada saat hari terakhir pelaksanaan UN. Rupanya mereka sudah yakin lulus kali ya? Ini benar benar “potret suram dunia pendidikan” ujar sebuah head lines sebuah berita media cetak. Mereka dengan ekpresif saling mencoret-coret baju seragam teman-temannya seolah olah lepaslah semua beban yang sebelumnya dihadapi padahal UN bukan lah akhir dari segalanya  karena ada ujian lain yang lebih berat dari UN yaitu ujian dalam kehidupan.